Home » » asuhan keperawatan pada pasien fraktur

asuhan keperawatan pada pasien fraktur

Written By Unknown on Tuesday, 9 April 2013 | 22:03



BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. (smeltzer S.C & Bare B.G,2001) Fraktur adalah setiap retak atau patah pada tulang yang utuh.      ( reeves C.J,Roux G & Lockhart R,2001 ) 
Kejadian  patah tulang atau fraktur  dapat menimpa setiap orang kapan saja dan dimana saja. Fraktur yang terjadi dapat mengenai orang dewasa maupun anak-anak. Presentasi keseluruhan dari anak anak 0-16 tahun yang mengalami (sedikitnya 1) fraktur, lebih tinggi anak laki-laki(42%) daripada anak perempuan (27%). Tetapi kejadian fraktur tiga tahun lebih awal terjadi pada anak perempuan daripada anak laki-laki. Meningkatnya fraktur selama masa prapubertas terjadi karena ketidaksesuaian antara tinggi badan dan mineralisasi tulang. 77% kasus fraktur disebabkan karena trauma low-energy (terutama karena jatuh) yang lebih sering terjadi pada anak laki-laki usia sekolah dan remaja. (Jurnal Pattern of fractures across pediatric age groups: analysis of individual and lifestyle factors).  Fraktur yang mengenai lengan bawah pada anak sekitar 82% pada daerah metafisis tulangradius distal,dan ulna distal sedangkan fraktur pada daerah diafisis yang terjadi sering sebagai faktur type green-stick. Daerah metafisis pada anak relatif masih lemah sehingga  fraktur  banyak  terjadi  pada  daerah  ini,  selebihnya  dapat  mengenai suprakondiler humeri (transkondiler humeri) diafisis femur dan klavikula, sedangkan yang lainnya jarang. Fraktur pada anak mempunyai keistimewaan dibanding dengan dewasa, proses penyembuhannya dapat berlangsung lebih singkat dengan remodeling yang sangat baik, hal ini disebabkan karena adanya perbedaan anatomi, biomekanik serta fisiologi tulang  anak  yang  berbeda  dengan  tulang  orang  dewasa.  Selain  itu  proses penyembuhan ini juga dipengaruhi oleh faktor mekanis dan faktor biologis. Ada perbedaan yang mendasar antara fraktur pada anak dengan fraktur pada orang dewasa, perbedaan tersebut pada anatomi, biomekanik, dan fisiologi tulang. Pada anak-anak antara epifisis dan metafisis terdapat lempeng epifisis sebagai daerah pertumbuhan  kongenital.  Lempeng  epifisis  ini  akan  menghilang  pada  dewasa, sehingga epifisis dan metafisis ini akan menyatu. Pada saat itulah pertumbuhan memanjang tulang akan berhenti. Tulang panjang terdiri atas epifisis, metafisis dan diafisis. Epifisis merupakan bagian paling atas dari tulang panjang, metafisis merupakan bagian yang lebih lebar dari ujung tulang panjang yang berdekatan dengan diskus epifisialis, sedangkandiafisis merupakan bagian tulang panjang yang di bentuk dari pusat osifikasi primer. Seluruh tulang diliputi oleh lapisan fibrosa yang disebut periosteum, yang mengandung  sel-sel  yang  dapat  berproliferasi  dan  berperan  dalam  proses pertumbuhan transversal tulang panjang. Kebanyakan tulang panjang mempunyai arteria nutrisi. Lokasi dan keutuhan dari pembuluh darah inilah yang menentukan berhasil atau tidaknya proses penyembuhan suatu tulang yang patah. Pada anak,terdapat lempeng epifisis yang merupakan tulang rawan pertumbuhan. Periosteum sangat tebal dan kuat dimana pada proses bone helding akan menghasilkan kalus yang cepat dan lebih besar daripada orang dewasa.

1.2 Rumusan Masalah
1.2.1  Apakah yang dimaksud dengan fraktur?
1.2.2  Apa sajakah klasifikasi fraktur?
1.2.3 Apa sajakah faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya fraktur?
1.2.4 Tanda, gejala, dan manifestasi klinis apa sajakah yang biasanya muncul pada fraktur?
1.2.5 Bagaimanakah penatalaksanaan yang baik dalam mengatasi fraktur pada anak?
1.2.6 Bagaimanakah asuhan keperawatan yang tepat untuk menangani permasalahan tersebut?(pada kasus ini kelompok kami akan membahas lebih lanjut mengenai askep fraktur)
1.3 Tujuan
1.3.1 Mengerti dan memahami mengenai definisi dari fraktur.
1.3.2 Mengetahui dan mengerti tentang berbagai macam klasifikasi fraktur.
1.3.3 Mengetahui faktor-faktor yang dapat menyebabkan fraktur.
1.3.4 Mengetahui tanda, gejala, dan manifestasi klinis yang biasanya muncul pada fraktur.
1.3.5 Mengerti mengenai bagaimanakah penatalaksanaan yang tepat yang harus dilakukan dalam menangani fraktur pada anak.
1.3.6 Mengetahui dan memahami asuhan keperawatan yang tepat untuk menangani permasalahan fraktur pada anak.
1.4 Manfaat
1.4.1 Menambah pengetahuan mengenai apa yang dimaksud dengan fraktur.
1.4.2 Dapat mengetahui tentang berbagai macam faktor penyebab dan akibat apasajakah yang mungkin muncul sebagai dampak dari fraktur khususnya fraktur pada anak.
1.4.3 Dapat mengetahui mengenai penatalaksanaan yang tepat yang harus dilakukan dalam menangani permasalahan fraktur pada anak.
1.4.4 Mengetahui mengenai asuhan keperawatan yang tepat dalam menangani fraktur pada anak.













BAB II
KAJIAN TEORI

2.1     Definisi Fraktur
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya. (Smelter&Bare,2002)

2.2  Klasifikasi Fraktur
a.       Komplit - tidak komplit
-  Fraktur komplit : garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua korteks tulang seperti terlihat pada foto.
-  Fraktur tidak komplit : garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang seperti:
1.      Hairline fracture
Tulang terpecah selurunya tetapi masih tetap ditempat,biasa terjadi pada tulang pipih
2.      Buckle fracture atau torus fracture
Terjadi lipatan dari satu korteks dengan kompresi tulang spongiosa dibawahnya
3.      Greenstick fracture
Fraktur di mana salah satu sisi tulang patah sedang sisi lainnya membengkok)

b.      Bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma
-   garis patah melintang
          


-   garis patah oblique
-   garis patah spiral
-   fraktur kompresi
-   fraktur avulsi

c.       Jumlah garis patah
-   fraktur kominutif : garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan
-   fraktur segmental : garis patah lebih dari satu tetapi tidak berhubungan. Bila dua garis patah disebut pula fraktur bifokal.
-   fraktur multipel : garis patah lebih dari satu tetapi pada tulang yang berlainan tempatnya.

d.      Bergeser - tidak bergeser (displaced-undisplaced)
-   fraktur undisplaced (tidak bergeser) : garis patah komplit tetapi kedua fragmen tidak bergeser. Periosteumnya masih utuh.
-   Fraktur displaced (bergeser) : terjadi pergeseran fragmen-fragmen fraktur yang juga disebut dislokasi fragmen.
1.      dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah sumbu dan overlapping)
2.      dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut)
3.      dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauhi).

e.       Terbuka - tertutup
-   Fraktur tertutup : bila tidak ada luka yang menghubungkan fraktur dengan udara luar atau permukaan kulit.
-   Fraktur terbuka : bila terdapat luka yang menghubungkan tulang yang fraktur dengan udara luar atau permukaan kulit.
Fraktur terbuka dibagi menjadi 3 derajat yang ditentukan oleh berat ringannya luka dan berat ringannya patah tulang.
ü   Grade I
Luka biasanya kecil < 1 cm, luka tusuk yang bersih pada tempat tulang menonjol keluar. Terdapat sedikit kerusakan pada jaringan lunak, tanpa penghancuran dan fraktur tidak kominutif.
ü  Grade II
Luka > 1 cm, tetapi tidak ada penutup kulit. Tidak banyak terdapat kerusakan jaringan lunak, dan tidak lebih dari kehancuran atau kominusi fraktur tingkat sedang.
ü  Grade III                 
Terdapat kerusakan yang luas pada kulit, jaringan lunak dan struktur neurovaskuler, disertai banyak kontaminasi luka.
III A     :   Tulang yang mengalami fraktur mungkin dapat ditutupi secara memadai oleh jaringan lunak.
III B     :   Terdapat pelepasan periosteum dan fraktur kominutif yang berat.
 III C    :   Terdapat cedera arteri yang perlu diperbaiki, tidak peduli berapa banyak kerusakan jaringan lunak yang lain.
2.3 Etiologi
Terjadinya fraktur akibat adanya trauma yang mengenai tulang yang kekuatannya melebihi kekuatan tulang.
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya fraktur :
o    Faktor ekstrinsik yaitu meliputi kecepatan dan durasi trauma yang mengenai tulang, arah serta kekuatan tulang.
o    Faktor intrinsik yaitu meliputi kapasitas tulang mengabsorpsi energi trauma, kelenturan, densitas serta kekuatan tulang.
Fraktur dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu :
·           Trauma Langsung : Trauma langsung berarti benturan pada tulang dan mengakibatkan fraktur di tempat itu
·           Trauma tidak langsung : bilamana titik tumpuan benturan dengan terjadinya fraktur bergantian  (Jatuh dari ketinggian dengan berdiri atau duduk sehingga terjadi fraktur tulang belakang)
·           Proses penyakit (osteoporosis yang menyebabkan fraktur yang patologis)



2.4 Patofisiologi
2.5 Tanda dan gejala
ü  Pasien  merasakan  tulangnya  terasa  patah  atau mendengar bunyi “krek” (krepitasi)
ü  Ekstremitas yang cedera lebih pendek dari yang sehat,atau mengalami angulasi abnormal
ü  Pasien tidak mampu menggerakkan ekstremitas yang cedera
ü  Posisi ekstremitas yang abnormal, memar, bengkak, perubahan bentuk  
ü  Nyeri gerak aktif dan pasif 
ü  Nyeri sumbu
ü  Pasien  merasakan  sensasi  seperti  jeruji  ketikamenggerakkan ekstremitas yang mengalami cedera (Krepitasi)
ü  Fungsiolesa
ü  Perdarahan bisa ada atau tidak 
ü  Hilangnya denyut nadi atau rasa raba pada distal lokasicedera
ü  Kram otot di sekitar lokasi cedera
ü  Jika mengalami keraguan apakah terjadi fraktur atautidak, maka perlakukanlah pasien seperti orang yang mengalami fraktur.

2.6 Manifestasi klinik
Manifestasi kliniis fraktur antara lain adalah didapatkan riwayat trauma, hilangnya fungsi, tanda-tanda inflamasi yang berupa nyeri akut dan berat, pembengkakan lokal, merah akibat perubahan warna, dan panas pada daerah tulang yang patah. Selain itu ditandai juga deformitas, dapat berupa angulasi, rotasi, ataupemendekan, serta krepitasi. Apabila fraktur terjadi pada ekstremitas atau persendian, maka akan ditemui keterbatasan LGS (lingkup gerak sendi). Pseudoartrosis dan gerak abnormal.
Tidak semua tanda dan gejala tersebut terdapatpada setiap fraktur, shingga perlu dilakukan pemeriksaan penuunjang. Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis adalah pemeriksaan X-foto, yang harus dilakukan dengan proyeksi yaitu anterior-posterior dan lateral. Dengan pemeriksaan X-foto ini dapat dilihat adatidaknya patah tulang, luas, dan keadaan fragmen tulang. Pemeriksaan ini juga berguna untuk mengikuti proses penyembuhan tulang. Diagnosis fraktur sendiri bergantung pada gejala, tanda fisik dan pemeriksaan sinar-x pasien. Biasanya pasien mengeluhkan mengalami cedera pada daerah tersebut. Bila berdasarkan pengamatan Klinis diduga ada fraktur, maka perlakukanlah sebagaimana fraktur sampai terbukti lain..
2.7 Penatalaksanaan
1.      Inspeksi (look)
Adanya deformitas (kelainan bentuk) seperti bengkak, pemendekan, rotasi, angulasi, fragmen tulang (pada fraktur terbuka).


2.      Palpasi (feel)
Adanya nyeri tekan (tenderness), krepitasi, pemeriksaan status neurologis dan vaskuler di bagian distal fraktur. Palpasi daerah ektremitas tempat fraktur tersebut, di bagian distal cedera meliputi pulsasi arteri, warna kulit, capillary refill test.
3.      Gerakan (moving)
Adanya keterbatasan gerak pada daerah fraktur.
Penatalaksanaan fraktur mengacu kepada empat tujuan utama yaitu:
1. Mengurangi rasa nyeri,
Trauma pada jaringan disekitar fraktur menimbulkan rasa nyeri yang  hebat bahkan sampai menimbulkan syok. Untuk mengurangi nyeri dapat diberi obat penghilang rasa nyeri, serta dengan teknik imobilisasi, yaitu pemasangan bidai / spalk, maupun memasang gips.
2. Mempertahankan posisi yang ideal dari fraktur.
Seperti pemasangan traksi kontinyu, fiksasi eksternal, fiksasi internal, sedangkan bidai maupun gips hanya dapat digunakan untuk fiksasi yang bersifat sementara saja.
3. Membuat tulang kembali menyatu
Tulang yang fraktur akan mulai menyatu dalam waktu 4 minggu dan akan menyatu dengan sempurna dalam waktu 6 bulan.
4. Mengembalikan fungsi seperti semula
Imobilisasi dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan atrofi otot dan kekakuan pada sendi. Maka untuk mencegah hal tersebut diperlukan upaya mobilisasi.
Proses Penyembuhan Tulang :
Proses penyembuhan pada tulang terdiri atas lima fase, yaitu:
a.       Fase Hematoma
Apabila terjadi fraktur pada tulang panjang, maka pembuluh darah kecil yang melewati kanalikuli dalam sistem Haversian mengalami robekan pada daerah fraktur dan akan membentuk hematoma di antara kedua sisi fraktur.  Hematoma yang besar diliputi oleh periosteum.  Periosteum akan terdorong dan dapat mengalami robekan akibat tekanan hematoma sehingga dapat terjadi ekstravasasi darah ke dalam jaringan lunak.
Osteosit dengan lakunanya yang terletak beberapa milimeter dari daerah fraktur akan kehilangan darah dan mati, yang akan menimbulkan suatu daerah cincin avaskuler tulang yang mati pada sisi-sisi fraktur segera setelah trauma.
b.      Radang dan proliferasi seluler
Dalam delapan jam setelah fraktur terdapat reaksi radang akut disertai proliferasi sel di bawah periosteum dan di dalam saluran medulla yang tertembus. Ujung fragmen dikelilingi oleh jaringan sel, yang menghubungkan tempat fraktur. Hematoma yang membeku perlahan-lahan diabsorpsi dan kapiler baru yang halus berkembang ke daerah itu.
c.       Fase pembentukan kalus
Sel yang berkembang biak memiliki potensi krondrogenik dan osteogenik. Apabila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan dalam beberapa keadaan juga kartilago.  Populasi sel sekarang juga mencakup osteoklas (mungkin dihasilkan pembuluh darah baru) yang mulai membersihkan tulang yang mati.  Massa sel yang tebal, dengan pulau-pulau tulang yang immatur dan kartilago, membentuk kalus atau bebat pada permukaan periosteal dan endosteal.  Sementara tulang fibrosa yang immature (atau anyaman tulang) menjadi lebih padat, gerakan pada tempat fraktur semakin berkurang dan pada empat minggu setelah cedera, fraktur menyatu.
d.      Fase konsolidasi
Bila aktivitas osteoklastik dan osteoblastik berlanjut, anyaman tulang berubah menjadi tulang lamelar.  Sistem itu sekarang cukup kaku untuk memungkinkan osteoklas menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan dekat dibelakangnya osteoblas mengisi celah-celah yang tersisa diantara fragmen dengan tulang yang baru.  Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang cukup kuat untuk membawa beban yang normal.
e.       Fase remodeling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat.  Selama beberapa bulan, atau bahkan beberapa tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses resorpsi dan pembentukan tulang yang terus menerus.lamela yang lebih tebal diletakkan pada tempat yang tekanannya tinggi, dinding-dinding yang tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk.  Akhirnya, dan terutama pada anak-anak tulang akan memperoleh bentuk yang mirip bentuk normalnya.
               

v  Pada Jurnal Kadar Vitamn K Pada Penderita Fraktur Tertutup Baru dan Lama yang Dirawat Di Bangsal ORTOPEDI RSU DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG oleh Muzzakie disebutkan bahwa salah satu proses penyembuhan fraktur dipengaruhi oleh vitamin K. Vitamin K ini terkenal karena efeknya terhadap pembekuan darah, namun pada penelitian terakhir menunjukan vitamin K berperanan  penting dalam proses pembentukan, remodeling dan penyembuhan fraktur. Vitamin K berperanan dalam pembentukan osteocalcin yaitu protein unik dalam jumlah besar yang terdapat pada tulang. Osteocalcin merupakan matrik terjadinya kristalisasi kalsium. Struktur osteocalcin merupakan protein non kolagen yang mengandung asam gamma karboksi glutamat tersusun atas tiga residu asam glutamat yang mengalami karboksilasi akibat dari modifikasi post translasi tergantung vitamin K. Penelitian terhadap binatang percobaan menunjukan pemberian suplemen vitamin K mempercepat proses penyembuhan fraktur. Penelitian yang dilakukan Lucille Bitensky,et all,bahwa kadar vitamin K 1 dalam sirkulasi penderita fraktur lebih rendah daripada individu normal. Hasil ini mendukung teori bahwa vitamin K 1 berperanan sebagai hydrogen donor dalam reaksi biokimia yang mengkonversi glutamic acid residu (glu) menjadi gamma carboxy glutamic acid (gla). Dua kelompok residu ini dapat berikatan dengan kalsium.
Pada penelitian muzakkie mengenai kadar vitamin K pada penderita fraktur tertutup baru dan lama diperoleh bahwa tidak ada perbedaan bermakna kadar vitamin K penderita fraktur tertutup baru dan lama.

v       Pemeriksaan Penunjang :
1.      Pemeriksaan radiologis (rontgen), pada daerah yang dicurigai fraktur, harus mengikuti aturan role of two, yang terdiri dari :
·        Mencakup dua gambaran yaitu anteroposterior (AP) dan lateral.
·        Memuat dua sendi antara fraktur yaitu bagian proximal dan distal.
·        Memuat dua extremitas (terutama pada anak-anak) baik yang cidera maupun yang tidak terkena cidera (untuk membandingkan dengan yang normal)
·        Dilakukan dua kali, yaitu sebelum tindakan dan sesudah tindakan.
2.      Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Merupakan prosedur diagnosa yang menggunakan kombinasi dari magnet-magnet yang besar, frekuensi radio, dan komputer untuk menghasilkan gambar secara detail dari organ dan strukur tubuh. Test ini dilakukan untuk mengetahui hubungan abnormalitas dari medula spinal dan saraf.
3.      Computed Tomography Scan (Also called a CT or CAT scan.)
Prosedur diagnosa yang menggunakan kombinasi antar sinar X dan teknologi komputer untuk menghasilkan gambar yang melintang dan bersekat, keduanya mendatar dan tegak lurus dari tubuh. CT scan menunjukkan gambar yang detail dari bagian-bagian tubuh termasuk tulang, otot, lemak, dan organ. CT scans lebih detail dibandingkan sinar X
4.      Pemeriksaan laboratorium, meliputi:
·        Darah rutin,
·        Faktor pembekuan darah,
·        Golongan darah (terutama jika akan dilakukan tindakan operasi),
·        Urinalisa,
·        Kreatinin (trauma otot dapat meningkatkan beban kreatinin untuk kliren ginjal).
5.      Pemeriksaan arteriografi dilakukan jika dicurigai telah terjadi kerusakan vaskuler akibat fraktur tersebut.

2.8 Fraktur Pada Anak
Fraktur yang terjadi dapat mengenai orang dewasa maupun anak-anak, Fraktur yang mengenai lengan bawah pada anak sekitar 82% pada daerah metafisis tulang radius distal,dan ulna distal sedangkan fraktur pada daerah diafisis yang terjadi sering sebagai faktur type green-stick. Daerah metafisis pada anak relatif masih lemah sehingga fraktur banyak terjadi pada daerah ini, selebihnya dapat mengenai suprakondiler humeri (transkondiler humeri) diafisis femur dan klavikula, sedangkan yang lainnya jarang.
Fraktur pada anak mempunyai keistimewaan dibanding dengan dewasa, proses penyembuhannya dapat berlangsung lebih singkat dengan remodeling yang sangat baik,hal ini disebabkan karena adanya perbedaan anatomi, biomekanik serta fisiologi tulang anak yang berbeda dengan tulang orang dewasa. Selain itu proses penyembuhan ini juga dipengaruhi oleh faktor mekanis dan faktor biologis.
A. Anatomi dan Fisiologi 
Gambar 1. Bagian-bagain dari tulang immatur

Ada perbedaan yang mendasar antara fraktur pada anak dengan fraktur pada orang dewasa, perbedaan tersebut pada anatomi, biomekanik, dan fisiologi tulang. Pada anak-anak antara epifisis dan metafisis terdapat lempeng epifisis sebagai daerah pertumbuhan kongenital. Lempeng epifisis ini akan menghilang pada dewasa, sehingga epifisis dan metafisis ini akan menyatu pada saat itulah pertumbuhan memanjang tulang akan berhenti.
Tulang panjang terdiri dari :
·        Epifisis : merupakan bagian paling atas dari tulang panjang
·        Metafisis : merupakan bagian yang lebih lebar dari ujung tulang panjang, yang berdekatan dengan diskus epifisialis
·        Diafisis : merupakan bagian tulang panjang yang di bentuk dari pusat osifikasi primer
Seluruh tulang diliputi oleh lapisan fibrosa yang disebut periosteum, yang mengandung sel-sel yang dapat berproliferasi dan berperan dalam proses pertumbuhan transversal tulang panjang. Kebanyakan tulang panjang mempunyai arteria nutrisi. Lokasi dan keutuhan dari pembuluh darah inilah yang menentukan berhasil atau tidaknya proses penyembuhan suatu tulang yang patah.
Pada anak, terdapat lempeng epifisis yang merupakan tulang rawan pertumbuhan. Periosteum sangat tebal dan kuat dimana pada proses bone helding akan menghasilkan kalus yang cepat dan lebih besar daripada orang dewasa.
Perbedaan di atas menjelaskan perbedaan biomekanik tulang anak-anak dibandingkan orang dewasa, yaitu :
·        Biomekanik tulang
Tulang anak-anak sangat porous, korteks berlubang-lubang dan sangat mudah dipotong oleh karena kanalis Haversian menduduki sebagian besar tulang. Faktor ini menyebabkan tulang anak-anak dapat menerima toleransi yang besar terhadap deformasi tulang dibandingkan orang dewasa. Tulang orang dewasa sangat kompak dan mudah mengalami tegangan dan tekanan sehingga tidak dapat menahan kompresi.
·        Biomekanik lempeng pertumbuhan
Lempeng pertumbuhan merupakan tulang rawan yang melekat pada metafisis yang bagian luarnya diliputi oleh periosteum sedang bagian dalamnya oleh procesus mamilaris. Untuk memisahkan metafisis dan epifisis diperlukan kekuatan yang besar. Tulang rawan lempeng epifisis mempunyai konsistensi seperti karet yang besar.
·        Biomekanik periosteum
Periosteum pada anak-anak sangat kuat dan tebal dan tidak mudah mengalami robekan dibandingkan orang dewasa.
Pada anak-anak, pertumbuhan merupakan dasar terjadinya remodelling yang lebih besar dibandingkan pada orang dewasa, sehingga tulang pada anak-anak mempunyai perbedaan fisiologi, yaitu :
·        Pertumbuhan berlebihan (over growth)
Pertumbuhan diafisis tulang panjang akan memberikan stimulasi pada pertumbuhan panjang, karena tulang rawan lempeng epifisis mengalami hiperemi pada waktu penyambungan.
·        Deformitas yang progresif
Kerusakan permanen pada lempeng epifisis akan terjadi pemendekan atau angulasi.
·        Fraktur total
Pada anak-anak fraktur total jarang bersifat komunitif karena tulangnya sangat fleksibel dibandingkan orang dewasa.
B. Etiologi 
1.      Trauma
Trauma dapat dibagi menjadi trauma langsung dan trauma tidak langsung. Trauma langsung berarti benturan pada tulang dan mengakibatkan fraktur di tempat itu, sedangkan trauma tidak langsung bilamana titik tumpuan benturan dengan terjadinya fraktur bergantian.
2.      Non Trauma
Fraktur terjadi karena kelemahan tulang akibat kelainan patologis didalam tulang, non trauma ini bisa karena kelainan metabolik atau infeksi.
3.      Stress
Fraktur stress terjadi karena trauma yang terus-menerus pada suatu tempat tertentu.
v  Menurut Jurnal Associations of Birth Weight and Length, Childhood Size, and Smoking with Bone
Fractures during Growth: Evidence from a Birth Cohort Study
Fraktur pada lengan bawah bagian distal berhubungan dengan rendahnya kepadatan/densitas tulang tubuh, lengan bawah, pinggul, dan lumbar pada anak laki-laki dan perempuan. Berkurangnya densitas mineral pada tulang merupakan factor risiko untuk fraktur pada masa pertumbuhan Rendahnya densitas mineral pada tulang dapat memprediksi fraktur baru pada anak perempuan diatas umur 4 tahun.  Seorang anak yang pernah mengalami paling sedikit 1 kali patah tulang merupakan factor risiko untuk mengalami fraktur tulang lagi di waktu mendatang, sama dengan orang dewasa. Tingginya berat badan pada masa pertumbuhan berhubungan dengan meningkatnya risiko fraktur pada lengan bawah bagian distal. Selain itu risiko fraktor juga terjadi pada anak yang sering berolahraga(risiko cidera), rendahnya intake ASI, menggunanakan obat steroid, rendahnya konsumsi kalsium, dan konsumsi minuman kola. Hasil dari penelitian ini didapatkan bahwa lebih dari setengah anak –anak pernah mengalami fraktur paling sedikit satu fraktur sebelum usia 18 tahun. Tingginya berat badan dan tinggi badan merupakan factor risiko fraktur, khususnya selama masa prapubertas. Merokok pada masa remaja juga merupakan factor risiko fraktur pada masa remaja
v  Menurut Jurnal Pattern of fractures across pediatric age groups: analysis of individual and lifestyle factors
Pada penelitian dalam jurnal ini didapatkan bahwa anak laki-laki  mempunyai risiko fraktur lebih tinggi daripada anak perempuan. Dengan bertambahnya umur rasio anak laki-laki/perempuan partisipasi dalam berolahraga meningkat, sedangkan intake kalsium dan waktu untuk bermalas-malasan berkurang. Presentasi keseluruhan dari anak anak 0-16 tahun yang mengalami (sedikitnya 1) fraktur, lebih tinggi anak laki-laki(42%) daripada anak perempuan (27%). Tetapi kejadian fraktur tiga tahun lebih awal terjadi pada anak perempuan daripada anak laki-laki. Meningkatnya fraktur selama masa prapubertas terjadi karena ketidaksesuaian antara tinggi badan dan mineralisasi tulang. 77% kasus fraktur disebabkan karena trauma low-energy (terutama karena jatuh) yang lebih sering terjadi pada anak laki-laki usia sekolah dan remaja. Meningkatnya pasrtisipasi dalam olahraga menyebabkan tingginya insiden fraktur pada remaja. Rendahnya intake kalsium dihubungkan dengan penurunan densitas tulang dan risiko fraktur pada anak. Anak-anak yang mengalami fraktur berulang memiliki massa dan ukuran lumbar tulang belakang yang lebih rendah dari kelompok control, konsumsi susu yang rendah, aktivitas fisik yang rendah, BMI yang tinggi, dan konsumsi minuman berkarbon yang tinggi. Partisipasi dalam olahraga dapat meningkatkan massa tulang tapi tidak melindungi tulang dari risiko injuri. Oleh karena itu sejalan dengan meningkatnya kemampuan motorik, keikutsertaan dalam aktivitas fisik meningkat dan risiko terkena injuri pun juga meningkat, terutama pada anak laki-laki. Perbedaan yang signifikan (jenis kelamin) ditemukan hanya pada masa remaja dimana anak laki-laki mengalami patah tulang di arena bermain/jalan dan anak perempuan mengalami fraktur di rumah
C. Klasifikasi 
Fraktur khusus pada anak
·        Fraktur akibat trauma kelahiran
Fraktur yang terjadi pada saat proses kelahiran sering terjadi pada saat melahirkan bahu bayi, (pada persalinan sungsang). Fraktur yang terjadi biasanya disebabkan karena tarikan yang terlalu kuat yang tidak disadari oleh penolong.


·        Fraktur salter-Haris

Klasifikasi salter haris untuk patah tulang yang mengenai lempeng epifisis distal tibia dibagi menjadi lima tipe :
Tipe 1 : Epifisis dan cakram epifisis lepas dari metafisis tetapi periosteumnya masih utuh.
Tipe 2 : Periost robek di satu sisi sehingga epifisis dan cakram epifisis lepas sama sekali dari metafisis.
Tipe 3 : Patah tulang cakram epifisis yang melalui sendi
Tipe 4 : Terdapat fragmen patah tulang yang garis patahnya tegak lurus cakram epifisis
Tipe 5 : Terdapat kompresi pada sebagian cakram epifisis yang menyebabkan kematian dari sebagian cakram tersebut.
E. Manifestasi Klinis
·        Deformitas : angulasi ( medial, lateral, posterior atau anterior), diskrepensi (rotasi, perpendekan atau perpanjangan)
·         Bengkak atau kebiruan.
·        Fungsio laesa (hilangnya fungsi gerak)
·        Tenderness (nyeri tekan) pada derah fraktur.
·        Krepitasi.
·        Nyeri bila digerakan, baik gerakan aktif maupun pasif.
·        Gerakan yang tidak normal yaitu gerakan yang terjadi tidak pada sendinya.
F. Penatalaksanaan
1.      Terapi Konservatif
a.       Proteksi
Misalnya mitella untuk fraktur collum chirurgicum humeri dengan kedudukan baik.
b.      Immobilisasi tanpa reposisi
Misalnya pemasangan gips atau bidai pada fraktur inkomplit dan fraktur dengan kedudukan baik.
c.       Reposisi tertutup dan fiksasi dengan gips
Misalnya fraktur supracondylair, fraktur colles, fraktur smith. Reposisi dapat dengan anestesi umum atau anestesi lokal dengan menyuntikkan obat anestesi dalam hematoma fraktur. Fragmen distal dikembalikan pada kedudukan semula terhadap fragmen proksimal dan dipertahankan dalam kedudukan yang stabil dalam gips. Misalnya fraktur distal radius, immobilisasi dalam pronasi penuh dan fleksi pergelangan.
d.      Traksi
Traksi dapat untuk reposisi secara perlahan dan fiksasi hingga sembuh atau dipasang gips setelah tidak sakit lagi. Pada anak-anak dipakai traksi kulit (traksi Hamilton Russel/traksi Bryant).
Traksi kulit terbatas untuk 4 minggu dan beban < 5 kg, untuk anak-anak waktu dan beban tersebut mencukupi untuk dipakai sebagai traksi definitif, bilamana tidak maka diteruskan dengan immobilisasi gips. Untuk orang dewasa traksi definitif harus traksi skeletal berupa balanced traction.
2.      Terapi Operatif
a.       Terapi operatif dengan reposisi secara tertutup dengan bimbingan radiologis
·        Reposisi tertutup-Fiksasi eksterna
Setelah reposisi baik berdasarkan kontrol radiologis intraoperatif maka dipasang alat fiksasi eksterna.
·        Reposisi tertutup dengan kontrol radiologis diikuti fiksasi interna
Misalnya : reposisi fraktur tertutup supra condylair pada anak diikuti dengan pemasangan paralel pins. Reposisi tertutup fraktur collumum pada anak diikuti pinning dan immobilisasi gips.
Cara ini sekarang terus dikembangkan menjadi “close nailing” pada fraktur femur dan tibia, yaitu pemasangan fiksasi interna intra meduller (pen) tanpa membuka frakturnya.
b.      Terapi operatif dengan membuka frakturnya :
·        Reposisi terbuka dan fiksasi interna
ORIF (Open Reduction and Internal Fixation)
Keuntungan cara ini adalah :
- Reposisi anatomis.
- Mobilisasi dini tanpa fiksasi luar.
Indikasi ORIF :
a. Fraktur yang tak bisa sembuh atau bahaya avasculair nekrosis tinggi, misalnya :
- Fraktur talus.
- Fraktur collum femur.
b. Fraktur yang tidak bisa direposisi tertutup. Misalnya :
- Fraktur avulsi.
- Fraktur dislokasi.
c. Fraktur yang dapat direposisi tetapi sulit dipertahankan. Misalnya :
- Fraktur Monteggia.
- Fraktur Galeazzi.
- Fraktur antebrachii.
- Fraktur pergelangan kaki.
d. Fraktur yang berdasarkan pengalaman memberi hasil yang lebih baik dengan operasi, misalnya : fraktur femur.
2. Excisional Arthroplasty
Membuang fragmen yang patah yang membentuk sendi, misalnya :
- Fraktur caput radii pada orang dewasa.
- Fraktur collum femur yang dilakukan operasi Girdlestone.
3. Excisi fragmen dan pemasangan endoprosthesis
Dilakukan excisi caput femur dan pemasangan endoprosthesis Moore atau yang lainnya. Sesuai tujuan pengobatan fraktur yaitu untuk mengembalikan fungsi maka sejak awal sudah harus diperhatikan latihan-latihan untuk mencegah disuse atropi otot dan kekakuan sendi, disertai mobilisasi dini. Pada anak jarang dilakukan operasi karena proses penyembuhannya yang cepat dan nyaris tanpa komplikasi yang berarti.
v  Treatment yang dilakukan pada Kasus Supracondylar Fracture of Humerus dalam beberapa jurnal :
1.         Treatment of Pink Pulseless Hand Following Supracondylar Fractures of the Humerus in Children
A. V. Korompilias & M. G. Lykissas & G. I. Mitsionis &
V. A. Kontogeorgakos & G. Manoudis & A. E. Beris
Penelitian dilakukan pada 66 pasien anak-anak dengan fraktur supracondilar di humerus.
Pada salah satu pasien, denyut nadi radial dikembalikan setelah penutupan area fraktur terbukanya.
Meskipun begitu, pada 4 pasien, terjadi kegagalan denyut nadi redialnya. Sebagai konsekuensinya, mereka mengalami eksplorasi vaskuler. 3 pasien mengalami keadaan kemacetan nadi karena trombus formasi. Trombektomi telah dilakukan, untuk mendorong restorasi nadi radial.
Semua anak pada fraktur tersebut dilakukan pembedahan pada area fraktur untuk mencegah terjadinya kemacetan nadi.
Kesimpulannya :
Ketidakadanya denyut nadi dari radial mestinya tidak selalu dihubungkan dengan suatu kekejangan vaskuler yang diatasi secara spontan. Metode pengarang yang disukai adalah eksplorasi pembedahan untuk pengembalian jalan nadi brakhial, meskipun pada keadaan fraktur tangan pada anak.

2.        Operative Management of Type III Extension Supracondylar Fractures in Children

Cemal Kazimoglu & Murat Çetin & Muhittin Şener &
Haluk Aguş & Önder Kalanderer

Tujuan penelitian adalah untuk membandingkan antara perawatan terbuka dan tertutup pada pasca operative dari fraktur suprakondilar ektension tipe III pada anak.
Dan juga hasil dari teknik yang berbeda pada perawatan terbuka yang dievaluasi dengan retrospektive. Menurut kriteria Flynn, outcome dari reduksi terbuka dan tertutup tidak ada statistik yang signifikan ( P > 0,05 ). Meskipun begitu outcome dari reduksi tertutup tidak menunjukkan keunggulan apapun dari reduksi terbuka, itu harus menjadi pilihan pertama dari perawatan berkaitan dengan rendahnya morbiditas dan pendeknya rawat inap di rumah sakit.

Kesimpulan :
Dapat disimpulkan bahwa reduksi terbuka dan fiksasi internal adalah sebuah protokol perawatan sekunder yang efektif untuk fraktur suprakondilar tipe III dengan hasil yang diperbandingkan dengan reduksi tertutup dan digantung. Jika reduksi tertutup gagal, reduksi terbuka atau traksi skeletal dan penundaan fiksasi perkutanious dapat lebih disukai menurut pengalaman pembedahan.


3.         Treatment of Supracondylar Fractures of The Humerus in Children Through an Anterior Approach is a Safe and Effective Method

Onder Ersan & Emel Gonen & Ahmet Arik &
Uygar Dasar & Yalim Ates

Jurnal ini membahas tentang efektifitas dan keamanan dengan menggunakan sebuah pendekatan anterior untuk fraktur humerus suprakondilar pada anak-anak. Penelitian dilakukan dengan 46 anak-anak yang memiliki fraktur humerus suprakondilar. Semua pasien telah terkelompokkan fraktur ektensi tipe III Gartland yang tidak dapat direduksi dengan reduksi tertutup. Dengan reduksi terbuka pun juga dilakukan dengan dimasukkan 2 kawat untuk memperbaiki tulang yang patah tersebut. Lalu pasien difollow-up dan dievaluasi menggunakan radiologi Flynn dan kriteria klinik. Kehilangan ektensi dan fleksi dikaji denagn pengkajian klinik dan diukur mengguanakan radiogram. Difollow-up setelah 24 jam postoperasi yang menunjukkan pasien dalam kondisi bagus dan kriteria yang bagus menurut Flynn.

Kesimpulan :
 Perawatan fraktur suprakondilar pada anak-anak melalui area anterior sangat bagus karena hasil dari penyembuhan fraktur tersebut sangat bagus dibuktikan dengan 31 excelent ( 67 % ) dan 15 hasil yang bagus ( 33 % ) dan tidak terdapat kegagalan atau kesalahan, serta luka dan penyembuhan relatif cepat.

4.         Recurrent Supracondylar Humerus Fracture Following Prior Malunion

Kenneth J. Noonan, M.D.*
Jedediah W. Jones, M.D.

Jurnal ini menjelaskan tentang kejadian fraktur pada anak-anak yang berulang akibat dari fraktur sebelumnya. Dilakukan penelitian dengan 2 anak, 5 dan 6 tahun.keduanya mengalami fraktur pada humerus suprakondilernya. Lalu, dilakukan pengobatan yang berbeda, yang 1 dengan cara reduksi terbuka atau pembedahan langsung dan yang lainnya dengan cara pembalutan / reduksi tertutup. Keduanya dilakukan dengan penyembuhan dengan level standard. 2 tahun kemudian, mereka terjadi fraktur kembali pada daerah yang sama dan keduanya dilakukan reduksi tertutup dengan penyematan perkutaneous.
Menurut peneliti, ektensi malunion ( penyatuan yang tidak sempurna ) menyebabkan resiko tinggi pada anak untuk mengalami fraktur kembali pada daerah yang sama.

5.         Results of treatment of displaced supracondylar humeral fractures in children by percutaneous lateral cross-wiring technique

Wael A. El-Adl Æ Mohammed A. El-Said Æ
George W. Boghdady Æ Al-Sayed M. Ali

70 anak dengan fraktur humerus suprakondiler tipe II dan III di-treatment  dengan teknik kawat-silang lateral perkutaneous dari januari 2006 sampai januari 2007. Ada 54 laki-laki dan 16 perempuan dengan umur berkisar 6,1 ± 3, 07 tahun. Semua pasien dioperasi dalam waktu 24 jam setelah trauma menggunakan teknik kawat-silang lateral perkutaneous Dorgans. Pasien di-followup  selama 6,1 ± 2,6 bulan dan pengkajian dengan radiologi untuk penyatuannya, fungsionalnya dan penyusunannya dengan kriteria Flynn. Hasilnya semua pasien mendapat kepuasan, 91,4 % pasien puas dan 8,6 % tidak puas. Komplikasi yang terjadi adalah serangan infeksi sematan minor pada 6 pasien, infeksi dalam pada 2 pasien, dan 32 pasien menderita butiran-butiran pembentukan jaringan yang berlebihan sekitar balutan. Tidak ada kerusakan persarafan untuk saraf ulnar atau saraf radial. Diperoleh hasil sedikit komplikasi yang dilaporkan secara signifikan dengan teknik ini pada kasus fraktur suprakondiler pada anak.



Kesimpulan :
Teknik cross-wiring ­Dorgans baik untuk treatment pada anak dengan fraktur humerus suprakondiler karena memberikan stabilitas fraktur yang baik, penyatuan tulang yang baik, dan resiko atau komplikasi yang ditimbulkan sangat sedikit
v          Pengobatan Fraktur Terbuka
Fraktur terbuka adalah suatu keadaan darurat yang memerlukan penanganan segera.
Tindakan sudah harus dimulai dari fase pra-rumah sakit :
-Pembidaian
-Menghentikan perdarahan dengan perban tekan
-Menghentikan perdarahan besar dengan klem
Tiba di UGD rumah sakit harus segera diperiksa menyeluruh oleh karena 40% dari fraktur terbuka merupakan polytrauma.
Tindakan life-saving harus selalu didahulukan dalam kerangka kerja terpadu (team work).

  











BAB III
ANALISIS KASUS

3.1Kasus Keperawatan
Pasien datang post jatuh waktu bermain bola di sekolah, posisi jatuh tangan ekstensi menahan beban tubuh. Waktu kejadian sadar, keluhan lengan kiri sakit saat digerakkan, bentuk lengan bengkok. Diagnosa Medis adalah Fraktur Supra Condiler sinistra dan dilakukan Pembedahan Orif Plate. Setelah dilakukan Pembedahan keadaan umum pasien adalah Pusing (-),Mual (-), Muntah (-), BAB (+), Flatus (+), Nyeri jika lengan kiri digerakkan (+), baal (-), Kesemutan (-)

3.2    Proses Keperawatan
1.         Pengkajian Keperawatan
a.    Identitas pasien
Nama                 : An. R
Usia                   : 9 tahun
Jenis Kelamin     : Laki – Laki
b.    Riwayat Penyakit Sekarang :
keluhan lengan kiri sakit saat digerakkan, bentuk lengan bengkok
c.    Riwayat Alergi obat : -
d.    Pemeriksaan
Pemeriksaan Lokalisasi     : Nyeri pada lengan kiri, deformitas
Pemeriksaan Penunjang    : elbow AP dan lateral : frkatur suprakondiler sinistra.
Diagnosis                          :Fraktur Supra Condiler sinistra
Planning                            : Pembedahan; Orif Plate
e.    Riwayat Post Op Orif Plate
                                   i.          Pemeriksaan Fisik
Inspeksi                                   : bengkak pada tangan kiri (+), Pucat (-)
Palpasi                                     : Akral distal hangat (+), Pulsasi (+), Rabaan (+)


Movement                               : Fleksi jari-jari (+), dorso fleksi pergengan tangan (+) tapi sedikit nyeri, palmar fleksi (+) sedikit nyeri,fleksi dan ekstensi siku (-) Karen sangat nyeri, tahanan otot (-)
Kekuatan Otot Lengan Kiri      :2

2.         Diagnosa Keperawatan
a.    Peripheral neurovascular dysfunction, risk for. (Risiko untuk disfungsi Peripheral neurovascular)
b.    Impaired Physical Mobility (Gangguan mobilitas Fisik).
c.    Risk for infection (Resiko Infeksi)
d.    Acut Pain (nyeri Akut)

3.         Perencanaan (Nursing Outcomes) dan Implementasi (Nursing Intervention)
a.    Risiko untuk disfungsi Peripheral neurovascular
Definisi: keadaan individu yang berisiko mengalami gangguan sirkulasi, sensasi, atau gerakan pada ekstremitas
Faktor yang berhubungan: Patah tulang, imobilisasi, obstruksi vaskuler, bedah ortopedi
Outcome:
-          Penyembuhan fraktur
-          Status neurologi
-          Keparahan resiko cidera
Intervention
-          Kardiak care
-          Monitor neurologi
-          Posisioning
-          Pengawasan daerah pembedahan
Aktivitas Keperawatan
-          Ajarkan pasien tentang perawatan pasca operasi
-          Ajarkan pasien tentang tanda dan gejala gangguan pasca operasi dan komplikasi
-          Ajarkan pasien tentang pentingnya pelatihan mobilisasi

b.    Impaired Physical Mobility (Gangguan Mobilitas Fisik)
Definisi: Keterbatasam mobilitas tubuh pada satu atau lebih ekstrimitas
Faktor yang berhubungan:
-          Penurunan kekuatan otot
-          Kontraktur
-          Penurunan Muskuluskeletal
Outcomes
-          Penampilan Body mekanik
-          Status fungsi sensory
-          Ambulasi
-          Penyebaran energi
Intervensi
-          Menejemen energi
-          Terapi aktivitas
-          Menejemen lingkungan.uab
Aktivitas Keperawatan
-          Kaji movilitas sendi dan kekuatan otot
-          Kaji kemampuan kognitif
-          Kaji kebutuhan pasien untuk mobilisasi
-          Ajarkan pasien untuk meningkatkan kekuatan ekstrimitas

c.    Risk for infection (Resiko Infeksi)
Definisi: keadaan peningkatan resiko terkena organisme patogen
Faktor resiko:
-          Penyakit kronis
-          Prosedur invasive
-          Pertahnan sekunder tidak adekuat


Outcomes
-          Status imun:keadekuatan almi yg didapat secara tepat ditujukan untuk menahan antigen antigen internal maupun external
-          Pengetahuan: pengendalian energy : tingkat pemahamn mengenai pencegahan dan pengendalian infeksi
-          Pengendalian resiko: tindakan untuk menghilangkan atau mengurangi ancaman kesehatan actual,pribadi,serta dapat dimodifikasi
Intevention dan Aktivitas Keperawatan
-          Pengendalian infeksi: meminimalkan penularan agen infeksius:
± Ajarkan pada pengunjung untuk mencuci tangan sewaktu masuk dan meninggalkan ruangan pasien
± Ajarken pasien teknik mencici tangan yang benar
± Ajarkan pasien dan keluarganya tanda/gejala infeksi dan kapan harus melaporkannya
± Tarapkan kewaspadaan universal
± Batasi jumlah pengunjung bila diperlukan
± Berikan terapi antibiotic bila diperlukan
-          Perlindungan terhadap infeksi: mencegah dan mendeteksi dini infeksi pada pasien yang beresiko:
± pantau tanda/gejala infeksi(misalnya suhu tubuh,denyut jantung, penampilan urine,keletihan).
± Kaji faktor yang meningkatkan serangan infeksi(misalnya malnutrisi)
-          Pantau hasil lab(misalnya albumin,protein serum)
d.    Acut Pain (nyeri Akut)
Definisi : Perasaan dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan yang timbul dari kerusakan jaringan yang aktual dan potensial. atau gambaran adanya kerusakan. Hal ini dapat timbul secara tiba-tiba atau lambat, intensitasnya dari ringan atau berat. Dengan prediksi waktu kesembuhan kira-kira kurang dari 6 bulan.
Batasan karakteristik :
-          Laporan verbal dan nonverbal
-          Laporan pengamatan
-          Posisi pasien berhati-hati untuk menghindari nyeri
-          Respon otonomi (diaphoresis, perubahan tekanan darah, perubahan nafas, nadi dan dilatasi pupil).
-          Tingkah laku ekspresif (gelisah, merintih, menangis, waspada, iritabel, nafas panjang, berkeluh kesah)
Faktor yang Berhubungan
-          Beberapa tindakan bedah
-          Kecemasan atau stress
Outcomes
-          Level kenyamanan
-          Kontrol nyeri
-          Menejemen level stress
Intevention
-          Pemberian analgetika
-          Menejemen pengobatan
-          Menejemen lingkungan

.












BAB IV
PENUTUP
4.1 Implikasi Keperawatan
     Perawat dapat memberikan informasi, pengertian dan pendidikan tentang fraktur, tindakan yang perlu dilakukan untuk menangani frakur.
     Perawat  memberikan pelayanan yang penuh  terhadap pasien yang mengalami fraktur.
     Perawat sebagai peneliti, hendaknya dapat meneliti lebih lanjut mengenai komplikasi dan kelainan yang mungkin terjadi pada fraktur sehingga dapat menentukan tindakan yang tepat bagi pasien.
4.2 Kesimpulan
Fraktur pada anak mempunyai keistimewaan dibanding dengan dewasa, proses penyembuhannya dapat berlangsung lebih singkat dengan remodeling yang sangat baik,hal ini disebabkan karena adanya perbedaan anatomi, biomekanik serta fisiologi tulang anak yang berbeda dengan tulang orang dewasa.. Pada anak-anak antara epifisis dan metafisis terdapat lempeng epifisis sebagai daerah pertumbuhan  kongenital.  Lempeng  epifisis  ini  akan  menghilang  pada  dewasa, sehingga epifisis dan metafisi ini akan menyatu.Pada anak,terdapat lempeng epifisis yang merupakan tulang rawan pertumbuhan. Periosteum sangat tebal dan kuat dimana pada proses bone helding akan menghasilkan kalus yang cepat dan lebih besar daripada orang dewasa.
Dari kasus anak R didapat diagnosa :
a.       Peripheral neurovascular dysfunction, risk for. (Risiko untuk disfungsi Peripheral neurovascular)
b.      Impaired Physical Mobility (Gangguan mobilitas Fisik).uab
c.       Risk for infection (Resiko Infeksi)
d.      Acut Pain (nyeri Akut)uab


4.3 Saran
·      Untuk keluarga :
-Sebaiknya mendampingi anak pada saat bermain supaya tidak mengalami
-Apabila anak mengalami fraktur segera berikan pengobatan yang tepat agar tidak mengganggu tahap tumbuh kembang yang selanjutnya.
·      Untuk Perawat :
-Memberikan asuhan keperawatan yang tepat pada anak yang mengalami fraktur
-Mengajarkan penanganan fraktur apabila anak sudah keluar dari rumah sakit.
·          Untuk Mahasiswa:
-Mempelajari tentang anatomi tulang serta penanganan fraktur.
-Mengupdate pengetahuan yang baru dengan melakukan penelitian tentang fraktur yang terjadi pada anak.



















DAFTAR PUSTAKA

A. V. Korompilias & M. G. Lykissas & G. I. Mitsionis & V. A. Kontogeorgakos & G. Manoudis & A. E. Beris. Treatment of Pink Pulseless Hand Following Supracondylar Fractures of the Humerus in Children. International Orthopaedics (SICOT) (2009) 33:237–241
Armis.1994. TRAUMA SISTEM MUSKULOSKELETAL. Yogyakarta : FK UGM
Bitensky,Lucille., et all. Circulating Vitamin K level in patients with fractures in the Journal Of Bone and JoindSurgery. British volume 7-B, 1988, p.663-p.664
Closkey JC & Bulechek. 2008. Nursing Intervention Classification. 4th ed. Mosby Year Book.
Giuliana Valerio, Francesca Gallè, Caterina Mancusi, Valeria Di Onofrio, Marianna Colapietro, Pasquale Guida,Giorgio Liguori. Pattern of fractures across pediatric age groups: analysis of individual and lifestyle factors. Valerio et al. BMC Public Health 2010, 10:656
Ianthe E.Jones,Sheila M.Williams,Ailsa Goulding.2003. Associations of Birth Weight and Length, Childhood Size, and Smoking with Bone Fractures during Growth: Evidence from a Birth Cohort Study.American Journal of Epidemiologi:Vol.159,No.4.
Johnson M, dkk. 2004. Nursing Outcome Classification (NOC). 3rd edition. Mosby. 
Kenneth J. Noonan, M.D.*&Jedediah W. Jones, M.D. Recurrent Supracondylar Humerus Fracture Following Prior Malunion.
Muzakkie. Kadar Vitamn K Pada Penderita Fraktur Tertutup Baru dan Lama yang Dirawat Di Bangsal ORTOPEDI RSU DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG. JKK ,Th 36, No 2,April 2004.
NANDA, 2001, Nursing Diagnosis: Definition & Classification 2001-2002, Philadelphia, North American Nursing Diagnosis Association
Onder Ersan & Emel Gonen & Ahmet Arik & Uygar Dasar & Yalim Ates. Treatment of Supracondylar Fractures of The Humerus in Children Through an Anterior Approach is a Safe and Effective Method .International Orthopaedics (SICOT) (2009) 33:1371–1375.
Smeltzer and Bare, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, EGC, Jakarta
Wael A. El-Adl Æ Mohammed A. El-Said Æ, George W. Boghdady Æ Al-Sayed M. Ali. Results of treatment of displaced supracondylar humeral fractures in children by percutaneous lateral cross-wiring technique. Strat Traum Limb Recon (2008) 3:1–7
Wael A. El-Adl Æ Mohammed A. El-Said Æ,George W. Boghdady Æ Al-Sayed M. Ali. Operative Management of Type III Extension Supracondylar Fractures in Children International Orthopaedics (SICOT) (2009) 33:1089–1094
Share this article :

Post a Comment